Musyawarah itu di pandang penting, antara lain karena musyawarah merupakan salah satu alat yang mampu mempersekutukan sekelompok orang atau umat di samping sebagai salah satu sarana untuk menghimpun atau mencari pendapat yang lebih dan baik.
Adapun bagaimana sistem permusyawaratan itu harus dilakukan, baik Al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas. Oleh karena itu soal sistem permusyawaratan diserahkan sepenuhnya kepada umat sesuai dengan cara yang mereka anggap baik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai obyek yang menjadi kajian dari permusyawaratan itu sendiri, adakah permusyawaratan itu hanya dalam soal-soal keduniawian dan tidak tentang masalah-masalah keagamaan? Sebagian dari mereka berpendapat bahwa musyawarah yang dianjurkan atau diperintahkan dalam islam itu khusus dalam masalah-masalah keduaniawian dan tidak untuk soal-soal keagamaan.
Sementara sebagian yang lain berpendirian bahwa disamping masalah-masalah keduniawian, musyawarah juga dapat dilakukan dalam soal-soal keagamaan sejauh yang tidak jelaskan oleh wahyu (Al-Qur’an dan Hadis)
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang jelas antara persoalan-persoalan duniawi dan agamawi tak dapat dipisahkan meskipun antara yang satu dengan yang lain memang dapat di bedakan. Dan suatu hal yang telah di sepakati bersama oleh para ulama ialah bahwa musyawarah tidak di benarkan untuk membahas masalah-masalah yang ketentuannya secara tegas dan jelas telah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
A. Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.Dalam Lisanul ‘Arab berarti memetik dari serbuknya dan wadahnya. Kata ini terambil dari kalimat (شرت العسل) saya mengeluarkan madu dari wadahnya.
Berarti mempersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu dimanapun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapapun yang dinilai benar tanpa mempertimbangkan siapa yang menyampaikannya. Musyawarah dapat berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu.
Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran.
Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.
Musyawarah merupakan salah satu hal yang amat penting bagi kehidupan insani, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan dalam kehidupan berumah tangga dan lain-lainnya. Islam memandang penting peranan musyawarah bagi kehidupan umat manusia, antara lain dapat dilihat dari perhatian al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan atau menganjurkan umat pemeluknya supaya bermusyawarah dalam memecah berbagai persoalan yang mereka hadapi.
B. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti menceraikan anak dari menyusu ibunya. Didalam menceraikan anak dari menyusu ibunya kedua orang tua harus mengadakan musyawarah, menceraikan itu tidak boleh dilakukan tanpa ada musyawarah, seandainya salah dari keduanya tidak menyetujui, maka orang tua itu akan berdosa karena ini menyangkut dengan kemaslahan anak tersebut. Jadi pada ayat di atas, al-Qur’an memberi petunjuk agar setiap persoalan rumah tangga termasuk persoalan rumah tangga lainnya dimusyawarahkan antara suami istri.
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum (maafkan mereka). Maaf secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab. Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut. Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja.
Kepada Umar Bin Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan.
Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik.
Di sisi lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan sebagaimana saran Abu Bakar.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu menghadapi perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide tersebut dan disepakati oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini.
Dalam masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat kekuasaan mereka.
عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن يستن به من بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسل
Hadis yang diriwayatkan dari hasan semoga redha Allah darinya: Allah sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus untuk urusan mereka).
Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu, berada didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. , manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala kemampuan yang ada.
Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan, bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.
Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu ‘r-ru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila tersiar akan membahayakan umatnya.
Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu. Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah.
Karena bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.
Oleh karena itulah, ketika Abi Bakar diangkat menjadi khalifah, para sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela padanya dalam urusan duniawi kita.
3. Surat At-Thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)
4. Surat Al-Syura ayat 38:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Saw. Dan menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan dirumah Abu Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok yang melakukan musyawarah.
Kata ( أَمْرُهُمْ ) amruhum/ urusan mereka menunjukkan bahwa yang mereka musyawarahkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan mereka serta yang berada dalam wewenang mereka. Karena itu masalah ibadah mahdhah/ murni yang sepenuhnya berada dalam wewenang Allah tidaklah termasuk hal-hal yang dapat dimusyawarahkan.
Di sisi lain, mereka yang tidak berwenang dalam urusan yang dimaksud, tidaklah perlu terlibat dalam musyawarah itu, kecuali jika di ajak oleh yang berwewenang, karena boleh jadi yang mereka musyawarahkan adalah persoalan rahasia antar mereka. Al-Maraghi mengatakan apabila mereka berkumpul mereka mengadakan musyawarah untuk memeranginya dan membersihkan sehingga tidak ada lagi peperangan dan sebagainya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka bermusyawarah didalam mengambil suatu keputusan untuk mereka ikuti pendapat itu, contohnya dalam peperangan.
Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat ini pada periode dimana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik, atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasul SAW. Turunnya ayat yang menguraikan Syûrâ pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah di dalamnya.
C. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik
4. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu. Shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendiri, dengan perbedaan duapuluh tujuh derajat.
Telah diriwayatkan dalam Al-Hasan r.a., bahwa Allah swt. sebenarnya telah mengetahui bahwa Nabi saw. sendiri tidak membutuhkan mereka (para sahabat, dalam masalah ini). Tetapi, beliau bermaksud membuat suatu sunnah untuk orang-orang sesudah beliau.
Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau pernah bersabda:
ما تشا ورقوم قط الا هدو الارشد امرهم
“Tidak satu kaum pun yang selalu melakukan musyawarah melainkan akan ditunjukkan jalan paling benar dalam perkara mereka”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., “aku belum pernah melihat seseorang melakukan musyawarah selain Nabi saw.”
فإذا عزمت فتوكل على الله
Apabila hatimu telah bulat dalam melakukan sesuatu, setelah hal itu dimusyawarahkan, serta dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka bertawakkallah kepada Allah. Serahkanlah sesuatu kepada-Nya, setelah mempersiapkan diri dan memiliki sarana untuk meniti sebab-sebab yang telah dijadikan Allah swt. untuk bisa mencapainya, seperti telah disebutkan didalam suatu hadist:
إعقلها وتوكل
“Pikirkanlahlah masak-masak, kemudian bertawakkallah (kepada Allah dalam melaksanakannya).”
Didalam hadits ini, terkandung isyarat yang menunjukkan wajibnya melaksanakan tekat apabilah syarat-syaratnya telah terpenuhi. Dan diantaranya melalui musyawarah.
Rahasia yang terkandung dalam hal ini adalah, bahwa meralat hal-hal yang sudah ditekadkan merupakan kelemahan jiwa seseorang. Juga sebagai kelemahan di dalam tabiatnya yang menjadikan yang bersangkutan itu tidak bisa dipercayai lagi, perkataan maupun perbuatannya. Terlebih lagi, jika ia seorang pemimpin pemerintahan atau panglima perang.
Oleh sebab itu, Nabi saw. tidak mendengarkan pendapat orang yang meralat pendapat pertamanya, sewaktu beliau sedang bermusyawarah mengenai perang Uhud. Pendapat itu mengatakan, bahwa kaum Muslimin harus keluar ke Uhud, begitu mereka talah mengenakan baju besi. Beliau berpandangan, bahwa sesudah bulat keputusan suatu musyawarah, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan. Jadi tidak boleh diralat lagi.
Dengan demikian, berarti Nabi saw mengajari mereka, bahwa dalam setiap pekerjaan ada waktunya masing-masing yang terbata. Dan waktu bermusyawarah itu, apabila talah selesai, tingallah tahap pengamalannya. Seorang panglima (pemimpin), apabila telah bersiap melaksanakan suatu pekerjaan sebagai realisasi dari hasil musyawarah, maka tidak boleh ia mencabut keputusan atau tekadnya, sekalipun ia melihat adanya kesalahan pendapat dari orang-orang yang ikut bermusyawarah, seperti yang terjadi dalam perang Uhud.
Pada surat Ali ‘Imran ayat 159 dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Juga dalam ayat itu dijelaskan sikap apa yang harus dilakukan ketika bermusyawarah yaitu:
1. Sikap lemah lembut
Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musywarah akan bertebaran pergi.
لو كنت فظا غليظ القلب لانفضو من حولك
Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
2. Memberi dan membuka lembaran baru bagi anggota musyawarah.
D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an
Berbagai masalah yang dibahas oleh para ulama mengenai musyawarah antara lain:
1. Orang yang diminta bermusyawarah
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw. Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.
Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan para sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagimana sikap menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah. Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidk keluar menghadapi musuh yang datang dari Mekkah.
Sahabat-sahbat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat, mendesak agar kaum Muslim dibawah pimpinan Nabi Saw. “keluar” menghadapi musuh. Pendapat mereka itu memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi Saw. Menyetujuinya. Tetapi peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh sahabat Nabi Saw.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi Saw. dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan al-Qur’an tentang musyarah.
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi Saw. Bahwa musyawarah harus tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransikan dan menjadi tanggung jawabkan bersama, dibanding dengan kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
ما خا ب من استشا ر ولا ند م من استخا ر
“Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk kepada Allah tentang pilihan yang terbaik, dan tidak juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.”
2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)
kata al-amr pada surat Ali ‘Imran ayat 159 di atas, ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum fil amr) yang diterjemahkan dengan “persoalan atau urusan tertentu”. Sedangkan ayat Al-Syura menggunakan kata amruhum yang terjemahannya adalah urusan mereka.
Kata amr Al-Qur’an ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus menjadi urusan-Nya semata, sehingga ada campur tangan manusia pada urusan tersebut, seperti:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku”. (QS. Al-Isra’: 85)
Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk yang ditujukan kepada orang kedua seperti dalam surat Al-Kahf ayat 16:
يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا
Artinya: Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu, dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. (QS. Al-Kahf: 16)
Ada juga kata amr yang tidak dinisbahkan itu yang berbentuk indefenitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup segala sesuatu, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 117:
وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya: Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata: “jadilah”, maka jadilah ia. (QS. Al-Baqarah: 117)
Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Seperti ada hal-hal yang khusus urusan Allah. Firman Allah:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Artinya: Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berlaku aniaya. (QS. Ali ‘Imran: 128)
Betapapun, dari ayat-ayat Al-Qur’an, tampak jelas adanya hal-hal yang merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada manusia.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga.
Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah terhadap istri beliau ‘Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai kehormatan rumah tangganya. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasulullah Saw. bertanya kepada sekian orang sahabat atau keluarganya.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi.
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.
3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”. Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat.
Sedangkan ayat yang lain menyatakan:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
Artinya: Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka. (QS. Al-Syura: 38)
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian, dari As-Sunnah dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang sifat-sifat umum yang hendak dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah. Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul Saw. pernah berpesan kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berkut:
يا علي لا تشا ورن جبا نا فإنه يضيف عليك المخرج ولا تشا ورن البخيل فإنه بقصربك عن غا يتك ولاتشا ورن حريصا فإنه يزين لك شرها. واعلم يا علي أن الجبن والبخل والحرص غريزة واحدة يجمعها سوء الظن باالله
Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan penakut, karena dia menyempit jalan keluar. Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuan. Juga tidak dengan yang berambisi, karena ia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Katahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka buruk terhadap Allah.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi Saw. cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua orang yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh al-Qur’an, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat Islam.
Namun demikian, al-Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks al-Qur’an hanyalah bahwa islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat didalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat tetentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa kemasa lain.
Sikap al-Qur’an seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.
Penutup
A. Kesimpulan
A. Pengertian Musyawarah
Kata ( شورى ) Syûrâ terambil dari kata ( شاورة- مشاورة- إستشاورة) menjadi ( شورى ) Syûrâ. Kata Syûrâ bermakna mengambi dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan menghadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.
Sedangkan menurut istilah fiqh adalah meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Kata musyawarah juga umum diartikan dengan perundingan atau tukar pikiran. Perundingan itu jua disebut musyawarah, karena masing-masing orang yang berunding dimintai atau diharapkan mengeluarkan atau mengemukakan pendapatnya tentang suatu masalah yang di bicarakan dalam perundingan itu.
1. Ayat-ayat Tentang Musyawarah
1. Surat Al-Baqarah ayat 233:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antara mereka. Maka tidak ada dosa atas keduanya”. (QS. Al-Baqarah: 233)
2. Surat Ali ‘Imran ayat 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Artinya: “Maka disebabkan rahmat Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras. Niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Kerena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 159)
3. Surat At-Thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَ
Artinya: “Tempatkanlah mereka para istri dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Dan mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan bermusyawarahlah di antara kamu segala sesuatu dengan baik dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.” (QS. At-Thalaq: 6)
4. Surat Al-Syura ayat 38:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)
B. Musyawarah dalam Islam dan faedah-faedahnya
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum
2. Kemampuan akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan berfikirnya pun berbeda-beda. Sebab, kemungkinan ada diantara mereka mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, para pembesar sekalipun.
3. Semua pendapat didalam musyawarah diuji kemampuannya. Setelah itu, dipilihlah pendapat yang lebih baik. Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu, berjama’ah disyari’atkan di dalam shalat-shalat fardhu.
D. Musyawarah Dalam Al-Qur’an
1. Orang yang diminta bermusyawarah
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah yang ada pada surat Ali Imran ayat 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini sesuai dengan redaksi perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi Saw.
Saja diperintahkan oleh al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’sum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi manusia-manusia selain beliau. Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya tunggal kepada Nabi Saw.
2. Dalam hal-hal apa musyawarah dilaksanakan (lapangan musyawarah)
Persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik lansung maupun melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti tata cara cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoaln duniawi, baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang mengalami perkembangan dan perubahan.
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi dan sosial. Bahkan dari sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi dan keluarga.
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah, tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan nalar dan pengalaman manusia belum sampai kesana.
3. Dengan siapa sebaiknya musyawarah itu dilakukan
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam surat Ali ‘Imran ayat 159 tentang musyawarah di atas, Nabi SAW. diperintahkan bernusyawarah dengan “mereka”.
Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Saw, yakni yang disebut dengan umat atau anggota masyarakat. Jadi musyawarah dapat dilakukan dengan siapapun asalkan ia mempunyai akal yang sehat.
Posting Komentar