Headlines News :

    Mengenang Sang Tokoh dan Pejuang Pendidikan NU Prof. Dr. KH. M. Tholchah Hasan



    Kiai Tolchah Hasan meninggal hari ini 29 Mei 2019 bertepatan dengan hari ke 24 bulan suci Ramadhan. Berikut fakta-fakta tentang tokoh dan pejuang pendidikan NU menurut Nadirsyah Hosen Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand.

    1. Beliau adalah pendiri UNISMA (Univ Islam Malang), Menteri Agama era Presiden Gus Dur, dan mantan Wakil Rais Aam PBNU era Kiai Sahal Mahfud. Kepergian beliau adalah duka dan kerugian besar untuk umat Islam;
    2. Baliau merupakan sosok yang teduh, bersahaja dan penuh dengan gagasan visioner khususnya masalah pendidikan dan Aswaja. Beliau juga terus mengikuti pemikiran keislaman dengan mengupdate bacaan kitab kontemporer, seperti yang beliau diskusikan dengan saya;
    3. Beliau rutin mengelola pengajian kitab Ihya ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali di rumahnya. Dan anehnya yg ikut ngaji itu termasuk para kiai. Kenapa? Sanad cerita ini dari kawan saya KH Abdul Adzim Irsyad. Dulu di Tebuireng, Tolchah remaja belajar pada KH Idris Kamali yg legendaris itu. Saat Tolchah dan kawannya minta ngaji kitab Ihya, Kiai Idris meminta mereka datang lagi esok hari. Lantas keesokan harinya, Kiai Idris menuturkan bhw beliau sdh minta ijin Imam al-Ghazali untuk mengajar Ihya. Bahkan Imam al-Ghazali sendiri yg memilihkan nama-nama santri yg layak ikut ngaji Ihya.  Kiai Tolchah termasuk yg dipilih untuk ngaji Ihya. Itu sebabnya yang sudah selevel Kiai pun banyak yg kemudian ngaji Ihya di rumah Kiai Tolchah utk ngalap barokah Kiai Idris dan Imam al-Ghazali Sewaktu sowan ke rumah beliau beberapa bulan lalu, saya sempat mengutip isi kitab Ihya, dan beliau mengomentarinya. Niat saya juga tabarukan. Alhamdilillah; 
    4. Sewaktu th 2008 Kiai Tolchah kami undang safari Ramadhan ke Australia, saya ingat betul beliau menarik tangan saya masuk kembali ke kamar beliau setelah kawan-kawan yg lain keluar kamar. Kiai Tolchah mengatakan senang dengan cara saya memimpin kawan-kawan NU. Beliau rupanya diam-diam memperhatikannya. Kata beliau tidak mungkin kawan-kawan anda begitu loyal dan taat seperti ini kalau kepemimpinan anda tidak merakyat;

    Lantas beliau merobek kertas kecil dan menuliskan wirid untuk saya baca, untuk diamalkan menjadi pemimpin. Saya dengan takjub menerimanya meski tidak benar-benar paham maksud beliau. sebagai santri saya sami’na wa atha’na. Adm


    Enam Syarat Sah Pelaksanaan Shalat Jumat

          

     Seperti ibadah-ibadah lainnya, shalat Jumat memiliki beberapa ketentuan atau syarat keabsahan yang harus dipenuhi. Sekiranya tidak terpenuhi, maka shalat Jumat dihukumi tidak sah. Berikut ini adalah syarat-syarat sah pelaksanaan shalat Jumat:

    • 1. shalat Jumat dan kedua kutbahnya dilakukan di waktu zhuhur.

     Hal ini berdasarkan hadits:
    ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻴَّﻜَﺎﻥَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔَ ﺣِﻴْﻦَ ﺗَﻤِﻴْﻞُ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ 
    “Sesungguhnya Nabi Saw melakukan shalat Jumat saat matahari condong ke barat (waktu zhuhur)”. (HR.al-Bukhari dari sahabat Anas)
          Maka tidak sah melakukan shalat Jumat atau khutbahnya di luar waktu zhuhur. Bila waktu Ashar telah tiba dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila di tengah-tengah melakukan shalat Jumat, waktu zhuhur habis, maka wajib menyempurnakan Jumat menjadi zhuhur tanpa perlu memperbaharui niat.
    Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri mengatakan:
    ﻓَﻠَﻮْﺿَﺎﻕَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ ﺃَﺣْﺮَﻣُﻮْﺍ ﺑِﺎﻟﻈُّﻬْﺮِ ﻭَﻟَﻮْ ﺧَﺮَﺝَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺃَﺗَﻤُّﻮْﺍ ﻇُﻬْﺮﺍً ﻭُﺟُﻮْﺑﺎً ﺑِﻠَﺎ ﺗَﺠْﺪِﻳْﺪِ ﻧِﻴَّﺔٍ
    “Apabila waktu zhuhur menyempit, maka wajib melakukan takbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila waktu zhuhur keluar sementara jamaah berada di dalam ritual shalat Jumat, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat zhuhur tanpa mengulangi niat”. (Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis , hal.236)  

    • 2. dilaksanakan di area pemukiman warga.

    Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan:
    ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﺃَﻥْ ﻳُﻌْﻘَﺪَ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔُ ﻓِﻲ ﺭُﻛْﻦٍ ﺃَﻭْ ﻣَﺴْﺠِﺪٍ ﺑَﻞْ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﺤْﺮَﺍﺀِ ﺇِﺫَﺍ ﻛﺎَﻥَ ﻣَﻌْﺪُﻭْﺩﺍً ﻣِﻦْ ﺧِﻄَّﺔِ ﺍﻟْﺒَﻠَﺪِ ﻓَﺈِﻥْ ﺑَﻌُﺪَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺒَﻠَﺪِ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻳَﺘَﺮَﺧَّﺺُ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻓِﺮُ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺘَﻬَﻰ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻟَﻢْ ﺗَﻨْﻌَﻘِﺪْ ﺍَﻟْﺠُﻤُﻌَﺔُﻓِﻴْﻬَﺎ
    “Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut”. (al-Ghazali, al-Wasith, juz.2, hal.263, [Kairo: Dar al-Salam], cetakan ketiga tahun 2012).
          Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.

    • 3. rakaat pertama Jumat harus dilasanakan secara berjamaah.

          Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat adalah dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.

    • 4. jamaah shalat Jumat adalah orang-orang yang wajib menjalankan Jumat.

          Jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat adalah penduduk yang bermukim di daerah tempat pelaksanaan Jumat. Sementara jumlah standart jamaah Jumat adalah 40 orang menghitung Imam menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i. Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.
    Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
    ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺠَﻤَﻞُ ﺍﻟْﺤَﺒْﺸِﻲُّ ﻓَﺎِﺫَﺍ ﻋَﻠِﻢَ ﺍﻟْﻌَﺎﻣِﻲُّ ﺃَﻥْ ﻳُﻘَﻠِّﺪَ ﺑِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻣَﻦْ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﺑِﺈِﻗَﺎﻣَﺘِﻬَﺎ ﺑِﺄَﺭْﺑَﻌَﺔٍ ﺃَﻭْ ﺑِﺎﺛْﻨَﻲْ ﻋَﺸَﺮَ ﻓَﻠَﺎ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺇِﺫْ ﻟَﺎ ﻋُﺴْﺮَ ﻓِﻴْﻪِ
    “Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan Jumat dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, karena tidak ada kesulitan dalam hal tersebut”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.18).
          Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di daerah pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melakukan Jumat.

    • 5. tidak didahului atau berbarengan dengan Jumat lain dalam satu desa

           Dalam satu daerah, shalat Jumat hanya boleh dilakukan satu kali. Oleh karenanya, bila terdapat dua Jumatan dalam satu desa, maka yang sah adalah Jumatan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram, sedangkan Jumatan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua Jumatan tersebut tidak sah.
          Hal ini bila tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk dilaksanakan dua kali. Bila terdapat hajat, seperti kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat dalam satu tempat karena kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua Jumatan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir.

    Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:
    ﻭَﺍﻟْﺤَﺎﺻِﻞُ ﺃَﻥَّ ﻋُﺴْﺮَ ﺍﺟْﺘِﻤَﺎﻋِﻬِﻢْ ﺍَﻟْﻤُﺠَﻮِّﺯَ ﻟِﻠﺘَّﻌَﺪُّﺩِ ﺇِﻣَّﺎ ﻟِﻀَﻴْﻖِ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥِ ﺍَﻭْ ﻟِﻘِﺘَﺎﻝٍ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺍَﻭْ ﻟِﺒُﻌْﺪِ ﺃَﻃْﺮَﺍﻑِ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞِّ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮْﻁِ
    “Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat yang memperbolehkan berbilangannya pelaksanaan Jumat adakalanya karena faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk daerah atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain , hal.4).

    • 6. didahului kedua khutbah.

    Sebelum shalat Jumat dilakukan, terlebih dahulu harus dilaksanakan dua khutbah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
    ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﺨْﻄُﺐُ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﺛُﻢَّ ﻳَﺠْﻠِﺲُ ﺛُﻢَّ ﻳَﻘُﻮﻡُ ﻓَﻴَﺨْﻄُﺐُ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ
    “Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan khutbahnya”. (HR. Muslim).
    Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menjalankan shalat Jumat. Semoga bermanfaat. (M. Mubasysyarum Bih)

    Perbedaan Najis dan Hadast


    Dalam istilah bersuci (thaharah), kita sering kali mengenal dua istilah, yakni hadats dan najis. Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda sehingga kita harus mampu membedakan antara dua istilah ini.

    Untuk membedakan keduanya, kita perlu mengetahui ciri dari masing-masing istilah najis maupun hadats. Perbedaan keduanya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, ditinjau dari segi hakikatnya. Kedua, ditinjau dari segi implikasi dan hukum fikihnya.

    Adapun perbedaan antara hadats dan najis ditinjau dari segi hakikatnya, najis adalah perkara yang zhahir dan bisa dilihat, seperti air kencing, darah, dan lain sebagainya. Sedangkan hadats adalah perkara maknawi yang ada di dalam jasad dan tidak dapat dilihat oleh panca indra.

    Adapun perbedaan secara implikasi dan hukum fikihnya, bisa dilihat dari beberapa hal:

    1. dari segi niatnya. Niat menjadi syarat untuk menghilangkan hadats. Sedangkan untuk menghilangkan najis, tidak dibutuhkan niat.
    2. air. Dalam menghilangkan hadats, air juga menjadi syarat. Sedangkan untuk menghilangkan najis, tidak harus dengan air. Istinja’ misalkan, bisa dilakukan dengan menggunakan batu.
    3. penghilangan najis diharuskan untuk membersihkan mahal (tempat) najis sampai hilang ain (zat) najisnya. Sedangkan untuk hadats, cukup membasuh seluruh anggota badan jika hadats besar, dan cukup membasuh anggota wudhu (berwudhu) jika hadats kecil.
    4. menghilangkan hadas tidak perlu membeda-bedakan dan tartib. Misalnya, ketika dalam satu waktu kita kentut, kemudian buang air kecil dan buang air besar, maka tidak harus menghilangkan hadats tersebut satu per satu, melainkan langsung sekaligus. Ini berbeda dengan najis. Jika dalam satu waktu di tangan kita terkena kotoran binatang, setelah itu kaki dan muka, maka kita harus membersihkannya satu per satu.
    5. berkaitan dengan pengganti dari menghilangkan hadats dan najis. Jika hadats, maka menghilangkannya bisa digantikan dengan tayamum. Sedangkan najis, tidak bisa digantikan dengan tayamum. Namun pendapat ulama Hanabilah mengatakan bahwa membersihkan najis bisa diganti dengan tayamum.

    Dalam istilah bersuci (thaharah), kita sering kali mengenal dua istilah, yakni hadats dan najis. Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda sehingga kita harus mampu membedakan antara dua istilah ini.

    Untuk membedakan keduanya, kita perlu mengetahui ciri dari masing-masing istilah najis maupun hadats. Perbedaan keduanya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, ditinjau dari segi hakikatnya. Kedua, ditinjau dari segi implikasi dan hukum fikihnya.
    Adapun perbedaan antara hadats dan najis ditinjau dari segi hakikatnya,

    •  najis adalah perkara yang zhahir dan bisa dilihat, seperti air kencing, darah, dan lain sebagainya. 
    • Sedangkan hadats adalah perkara maknawi yang ada di dalam jasad dan tidak dapat dilihat oleh panca indra.
    Adapun perbedaan secara implikasi dan hukum fikihnya, bisa dilihat dari beberapa hal:

    1. dari segi niatnya. Niat menjadi syarat untuk menghilangkan hadats. Sedangkan untuk menghilangkan najis, tidak dibutuhkan niat.
    2. air. Dalam menghilangkan hadats, air juga menjadi syarat. Sedangkan untuk menghilangkan najis, tidak harus dengan air. Istinja’ misalkan, bisa dilakukan dengan menggunakan batu.
    3. penghilangan najis diharuskan untuk membersihkan mahal (tempat) najis sampai hilang ain (zat) najisnya. Sedangkan untuk hadats, cukup membasuh seluruh anggota badan jika hadats besar, dan cukup membasuh anggota wudhu (berwudhu) jika hadats kecil.
    4. menghilangkan hadas tidak perlu membeda-bedakan dan tartib. Misalnya, ketika dalam satu waktu kita kentut, kemudian buang air kecil dan buang air besar, maka tidak harus menghilangkan hadats tersebut satu per satu, melainkan langsung sekaligus. Ini berbeda dengan najis. Jika dalam satu waktu di tangan kita terkena kotoran binatang, setelah itu kaki dan muka, maka kita harus membersihkannya satu per satu.
    5. berkaitan dengan pengganti dari menghilangkan hadats dan najis. Jika hadats, maka menghilangkannya bisa digantikan dengan tayamum. Sedangkan najis, tidak bisa digantikan dengan tayamum. Namun pendapat ulama Hanabilah mengatakan bahwa membersihkan najis bisa diganti dengan tayamum. Wallahu a’lam. (M Alvin Nur Choironi)

    Hikayat Perjuangan KH Abdul Wahab Chasbullah


    Ya lal wathan, ya lal wathan, ya lal wathan. Hubbul wathan minal iman. Wala takun minal hirman. Inhadhu ahlal wathon. Indonesia Biladi. Anta 'unwanul mufakhoma. Kullu man ya'tika yauma. Thamihan yalqo himama (Pusaka hati wahai tanah airku. Cintamu dalam imanku. Jangan halangkan nasibmu. Bangkitlah, hai bangsaku! Indonesia negeriku. Engkau Panji Martabatku. Siapa datang mengancammu. Kan binasa dibawah dulimu!)
    Bait-bait syair lagu Ya Lal Wathon, menggelora dari pekikan mulut-mulut mungil para siswa sebuah Madrasah Ibtida'iyah (MI) yang terletak tak jauh dari Gunung Lawu. Lagu tersebut menjadi penyemangat mereka saat hendak akan memulai kegiatan belajar di pagi hari, selain juga tentunya lagu Indonesia Raya dan Bagimu Negeri yang wajib dihafal oleh para murid.
    Kata salah guru di madrasah tersebut, lagu itu juga menjadi ikhtiar untuk membangkitkan rasa nasionalisme kepada murid sedari dini.
    Namun siapa sangka, lagu tersebut ternyata sudah dinyanyikan para siswa perguruan Nahdlatul Wathan di Surabaya, hampir seabad yang lalu. Lagu tersebut merupakan gubahan dari KH Abdul Wahab Chasbullah yang ketika itu mengemban amanah sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan) di Nahdlatul Wathan.
    Mbah Wahab bersama dengan KH Abdul Kahar sebagai Direkur, dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah, mereka menjadikan NW sebagai markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. (Anam, 1983)
    Kelak, perjuangannya dengan membangun semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan akan terus dikenang generasi sesudahnya. Nama madrasah Nahdlatul Wathan yang bermakna 'Kebangkitan Tanah Air', juga sengaja dipilih Mbah Wahab dan kawan-kawannya, untuk menegaskan cita-cita membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Tidak hanya itu, Kiai Wahab juga membentuk cabang-cabang baru: Akhul Wathan di Semarang, Far'ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Ahlul Wathan di Wonokromo dan lain sebagainya. Semua sekolah tersebut memiliki kesamaan, yakni pencantuman kata wathan yang berarti tanah air.
    Usaha ini memang tidak mudah, akan tetapi Mbah Wahab selalu yakin akan kemerdekaan yang akan diraih bangsa ini. Pernah suatu ketika Kiai Abdul Halim (Cirebon) bertanya kepadanya, apakah dengan usaha (jalur pendidikan dan perkumpulan ulama) macam begini bisa menuntut kemerdekaan? Mendengar pertanyaan itu, Kiai Wahab segera mengambil satu batang korek api dan menyulutkannya, sambil berkata: “Ini bisa mengancurkan bangunan perang. Kita jangan putus asa. Kita harus yakin tercapai negeri merdeka!” (Saifuddin Zuhri, 1972).
    Resolusi Jihad
    Bersama sejumlah ulama lainnya, Kiai Wahab juga ikut membidani berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Pada awal berdiri, duetnya bersama sang Rais Akbar Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari menjadikan NU sebagai salah organisasi yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan bangsa ini. Salah satunya, ketika dikeluarkan sebuah fatwa 'Resolusi Jihad'. Sebuah seruan yang ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan umat Islam Indonesia, yang mengajak kepada semua untuk berjuang membela Tanah Air dari penguasaan kembali pihak Belanda dan pihak asing lainnya.
    Resolusi Jihad ini dikeluarkan, ketika pada Oktober 1945, Belanda datang bersama pasukan Sekutu untuk kembali menjajah Indonesia yang baru beberapa bulan memproklamirkan kemerdekaannya. Satu demi satu kota jatuh ke tangan musuh. Bandung dan Semarang, dua kota penting telah dikuasai pihak sekutu.
    Mendengar kabar tersebut, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah mengumpulkan sejumlah ulama untuk mengikuti Rapat Besar Konsul-konsul Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura, 21-22 Oktober di Surabaya, Jawa Timur. Dari pertemuan itu dikeluarkan sebuah seruan yang kemudian dikenal dengan “Resolusi Jihad fi Sabilillah”.
    Adapun isi seruan tersebut sebagaimana termaktub dalam buku “Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama” (Anam: 1983) yakni : “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”.
    Selain itu para ulama juga memberikan beberapa seruan, antara lain: Pertama. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangan. Kedua. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
    Usai disebarkannya seruan itu ke segala penjuru, para pejuang di tiap daerah bersiaga perang menunggu pendaratan tentara Inggris yang kabarnya sudah tersiar. Seruan untuk berjihad fii sabilillah ini pula yang menjadi pemicu perang massa (Tawuran Massal) pada tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Saat itulah, arek-arek Surabaya yang dibakar semangat jihad menyerang Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
    Hasilnya, lebih dari 2000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewasnya. Sang Brigadir Jenderal, A.W.S. Mallaby juga tewas akibat dilempar granat. Perang Massa (Tawuran Massal) tanpa komando yang berlangsung selama tiga hari yang mengakibatkan kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby itulah yang memicu kemarahan Inggris yang berujung pada pecahnya pertempuran besar Surabaya 10 November 1945, yang kelak dikenang sebagai tanggal peringatan Hari Pahlawan.
    Pahlawan Sejati
    Demikianlah, dedikasi Mbah Wahab baik sebagai seorang ulama, pendidik, negarawan, maupun aktivis pergerakan untuk bangsa ini memang sangat besar pengaruhnya. Gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepadanya, tentu istimewa. Namun, jauh sebelum pemberian gelar pahlawan ini, Mbah Wahab sejatinya sudah menjadi sosok yang telah memberikan banyak inspirasi dan jasa.
    Kini, meski ia telah wafat, jasa dan ilmunya akan tetap dikenang, sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penyair Arab yang termaktub dalam kitab Alala: “Akhul 'ilmi hayyun kholidun ba'da mautihi, wa aushooluhu tahta turobi romiimun” (Para ahli ilmu, hidup abadi (nama dan jasanya) meski telah mati dan jasadnya terkubur di dalam tanah). Lahumu al-fatihah!
     
    Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
    Copyright © 2011. . - All Rights Reserved
    Template Created by Creating Website Published by Mas Template
    Proudly powered by Blogger
    Allohumma inni as-aluka wa atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyir rohmah. Ya muhammad inni tawajjahtu bika ila robbika fa yaqdhi hajati, al-fatihah