Headlines News :
Home » » Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siraj; Revolusi Spiritual Perlu di Tengah Modernisasi

Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siraj; Revolusi Spiritual Perlu di Tengah Modernisasi

Written By mts ma'arif nu on Kamis, 19 Februari 2015 | 15.16


Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siraj; Revolusi Spiritual Perlu di Tengah Modernisasi    Podium, Jakarta – Merosotnya moral masyarakat akibat pengaruh globalisasi memang sudah sangat mengkhawatirkan. Dampak negatifnya akan lebih parah bila tak segera dibendung. Untuk itu, Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siraj mengemukakan gagasannya tentang perlunya revolusi spiritual Seperti disampaikan pada saat pengukuhan menjadi profesor bidang tasawuf di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Sabtu (29/11).
Prof Dr KH Said Aqil Siroj dalam pidato pengukuhannya mengatakan, munculnya berbagai krisis manusia modern sesungguhnya bersumber pada masalah makna. Modernisme dengan kemajuan tekhnologi dan pesatnya industrialisasi dapat menciptakan manusia meraih kehidupan dengan perubahan yang luar biasa. Namun, seiring dengan logika dan orientasi modern, kerja dan materi lantas menjadi aktualisasi kehidupan masyarakat dan gagasan tentang makna hidup terhancurkan.
“Implikasinya, manusia kemudian menjadi bagian mesin yang mati. Masyarakat lantas tergiring pada proses penyamaan diri dengan segala materi serta pendalaman keterbelakangan mentalitas. Manusia semakin terbawa arus deras desakralisasi, dehumanisasi, karena ia selalu disibukkan oleh pergulatan tentang subyek positif dan hal yang empiris,” Imbuhnya.
Dalam pidato pengukuhan Kiai Said yang berjudul 'Tasawuf Sebagai Revolusi Spiritual Dalam Kehidupan Masyarakat Modern' dengan makalah setebal 34 halaman itu berisi tentang pentingnya tasawuf bagi umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. "Tasawuf memang sering mendapatkan kritikan dan tuduhan menyakitkan. Beberapa orientalis dan pemikir Muslim sendiri tidak sedikit yang menuduh tasawuf menjadi biang kemunduran peradaban Islam. Padahal, itu semua tidak benar," ungkap Kiai Said yang menyelesaikan program doktornya di universitas Ummul Qura Makkah.
Berbicara dihadapan audiens yang hadir di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut, Ketua Umum PBNU mengangkat peran para sufi yang besar jasanya dalam peradaban Islam. "Bila kita baca dalam sejarah, banyak para sufi yang justru memajukan peradaban Islam. Para sufi dikenal dengan keilmuannya yang ensiklopedis. Kita bisa sebutkan seperti Syekh Sahl At-Tasturi, sufi yang ahli tafsir. Syekh Ibnu Arabi, sufi yang mengedepankan tasawuf-falsafi dikenal pula sebagai ahli tafsir dan hadits. Syekh Ibnul Farid dan Syekh Fariduddin Al-Aththar adalah dua figur sufi yang dikenal luas sebagai sastrawan. Itu menunjukkan, bahwa tasawuf punya hal penting dalam membentengi umat dari perilaku hedonisme dalam kehidupan modern," tegasnya.
Lalu apa yang dimaksud dengan revolusi spiritual? Menurut Kiai Said, ini masih nyambung dengan pesantren, kalau mental kan akhlak, kalau spiritual lebih dari akhlak. Lebih tinggi. “Ini sangat relevan dengan era globalisasi yang sudah mengkhawatirkan. Liberalisasi budaya, agama, hubungan seks, semuanya memprihatikan sekali. Narkoba sudah masuk ke anak SD, ke orang miskin. Kalau dulu kan orang kaya saja karena mahal,” katanya.
Gagasan Kiai Said ini dimaksudkan agar spiritualitas menjadi spirit atau semangat kehidupan kebangsaan, bagaimana tasawuf membangun spiritualitas yang dijadikan tujuan. “Saya ini bukan orang yang sholeh, tapi ingin menjadi orang yang baik. Arahnya ke sana. Saya harus mengidolakan seorang yang spiritualitasnya mulia, aulia, ulama, solihin,” tambahnya.
Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam hidup ini perlu mengutamakan spritualitas, bukan hanya ketika di masjid, di pasar, di jalan. Sebaliknya kalau akhlak sekedar pribadi luar, hormat orang tua, tetangga, tamu, membantu orang miskin, Itu baik, tapi belum tentu spiritualitasnya baik. Bagaimana spirit ini mewarnai spiritnya bangsa Indonesia, yang menjalankan kewajibannya dengan didasari keikhlasan.
Ia menjelaskan, di satu sisi, modernitas menghadirkan dampak positif dalam hampir seluruh konstruk kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, juga tidak dapat ditampik bahwa modernitas punya sisi gelap yang menimbulkan akses negatif yang sangat bias. Dampak paling krusial dari modernitas adalah terpinggirkannya manusia dari lingkar eksistensi. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya berdasarkan pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya terpinggirkan.
“Maka, meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan,” paparnya.
Inilah yang kemudian pada sisi kenyataan lain, memunculkan spiritualitas semakin mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat modern. Fenomena keagamaan ini sangat menarik untuk dicermati, karena terdapat pula kecenderungan “rekonsiliasi” antara nilai sufistik dengan dunia modern. “Ada kecenderungan baru bahwa dimensi spiritualitas yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali oleh masyarakat modern, karena kemajuan seperti dalam bidang iptek membuktikan bahwa problema yang muncul kemudian akibat kemajuan dunia global tetap saja belum terpecahkan. Kegagalan manusia modern, ternyata oleh banyak pengamat hampir sepakat mengatakan bahwa krisis besar melanda umat manusia tidak akan dapat diatasi dengan keunggulan iptek sendiri dan kebesaran ideologi yang dianut oleh negara-negara terkemuka.”
Ekses negatif dari modernisme telah menjadi salah satu pemicu bagi memekarnya hasrat pada spiritualitas termasuk pengkajian kembali terhadap tasawuf. Ketika seluruh kehidupan menjadi begitu melelahkan dan kebudayaan justru melahirkan kegersangan ruhaniah, terjadilah pendulum balik, spiritualitas menjadi sangat digemari oleh mereka yang dahulu menolak prinsip-prinsip rohani dalam hidup. “Manusia lantas menggandrungi kearifan tradisional yang menjanjikan pengembalian manusia pada fitrah dan mengembangkan hidup yang bermakna,” tandas Kiai Said.
Dalam konteks ini, ia menegaskan bahwa persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini berada pada satu titik yaitu krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, dominasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern dimana sekularisme menjadi mentalitas zaman dan karena itu spiritualisme menjadi semacam antagonisme bagi kehidupan modern. 
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. . - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger
Allohumma inni as-aluka wa atawajjahu ilaika bi nabiyyika nabiyyir rohmah. Ya muhammad inni tawajjahtu bika ila robbika fa yaqdhi hajati, al-fatihah