Almaghfurlah KH Wahab Chasbullah (lahir pada 1888 di Jombang, Jawa
Timur; wafat 1971) adalah seorang kiai nasionalis, dalam pikiran dan
tindakan, seorang pembela negara dan bangsa ini hidup hingga mati. Sejak
nyantri di berbagai pesantren dengan sejumlah guru dan kiai. Di Mekah
beliau mendirikan organisasi Sarekat Islam di tahun 1912-1914.
Pulang ke Jawa di tahun 1914, beliau aktif dalam berbagai kegiatan pergerakan nasional. Ada sejumlah organisasi yang beliau dirikan: Nahdlatul Wathan (organisasi kebangsaan bersama KH Mas Mansur), Syubbanul Wathan (gerakan pemuda kebangsaan), Nahdlatuttujjar (Gerakan Kebangkitan Para Pedagang), Tashwirul Afkar (forum pencerahan pemikiran), Islamic Studi Club bersama dokter Soetomo (pendiri Boedi Otomo), serta Komite Hijaz yang menjadi embrio berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan ada cabang Boedi Oetomo Surabaya yang mengikuti Tasjwiroel Afkar, dengan nama “Suryo Sumirat afdeeling [cabang] Tasjwiroel Afkar”. Suryo Sumirat adalah nama satu perhimpunan yang dibentuk oleh orang-orang Boedi Oetomo di Surabaya.
Itu digambarkan dengan apik oleh Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya tentang karakter kosmopolit-kebangsaan sang kiai paripurna ini:
Dari pondok pesantren [tempat bergumul Kiai Wahab Chasbullah] lahirlah ide-ide yang hidup, segar dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat, dan bukanlah ide-ide yang cuma teoritis yang mati di tengah cetusannya. Ide kebangkitan kaum ulama, ide pentingnya pengorganisasian perjuangan, ide pendekatan golongan-golongan Islam-Nasional, ide perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, ide mencetuskan kemerdekaan dan mempertahankannya, ide mengisi kemerdekaan, ide mempertemukan antara cita-cita dan kenyataan, dan tentu saja ide pembangunan di segala bidang, membangun karakter bangsa, membangun taraf hidup dan membangun prestasi nasional untuk kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia.
Ini misalnya ditunjukkan pada pendirian Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pemuda ini untuk menggelorakan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Ia bertemu dengan KH Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya.
Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat Rechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.
Sejak itu Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan kebangsaan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair seperti berikut:
Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan….
Hubbul wathan minal-iman
Wahai bangsaku, wahai bangsaku…
Cinta tanah air adalah bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan
harus dibuktikan dengan perbuatan…
Setelah Mas Manshur aktif di Muhammadiyah kemudian kepala sekolah dijabat oleh Mas Alwi mengembangkan sayap Nahdlatul Wathan di berbagai daerah. Madrasah Akhul Wathan (Saudara Setanah Air) di Semarang, Far’ul Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Malang, Hidayatul Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang dan Jagalan, Ahlul Wathan (Warga Tanah Air) di Wonokromo dan Khitabul Wathan di Pacarkeling . Pendirian madrasah-madrasah kebangsaan ini tidak lain adalah sebagai bentuk upaya kaum santri untuk menumbuhkembangkan semangat nasionalisme-religius ala pesantren ke dalam jiwa putera-puteri bangsa kita.
Inilah amal dan perbuatan Kiai Wahab Chasbullah untuk bangsa ini di masa penjajahan Belanda.
Kemudian, di masa pendudukan Jepang, ide-ide yang sudah dipupuk di masa kolonial Belanda dilanjutkan pada level aksi nyata. Yakni melalui pembentukan laskar rakyat-pemuda. Mengapa beralih ke pembentukan laskar rakyat? Kiai Wahab sendiri pernah mengatakan: “Kalau kita mau keras, harus mempunyai keris!” Artinya, bahwa kita baru bisa bertindak jika kita telah mempunyai kekuatan. Kekuatan politik, kekuatan militer, dan juga kekuatan batin atau rohani, demikian yang ditulis KH Saifuddin Zuhri, menafsirkan ucapan gurunya itu.
Ide ini awalnya untuk kepentingan pertahanan rakyat dalam konteks menghadapi Perang Pasifik. Tapi niat pemerintah militer Jepang itu dimanfaatkan oleh Kiai Wahab untuk menggembleng kalangan santri dalam latihan fisik-kemiliteran untuk jaga-jaga. Kiai Wahab lalu memebri nama laskar-santri itu Laskar Hizbullah. Ini dengan memanfaatkan keterlibatan para kiai dalam rekrutmen tentara PETA di Cibarusa, Jawa Barat, tahun 1944. Sepulang dari latihan militer ini, para kiai ini kemudian mengkader pasukan-pasukan Laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing. Laskar ini kemudian menjadi komponen utama perlawanan rakyat dan kaum santri dalam perang kemerdekaan di tahun 1945-1949.
Nah, selama dalam perang kemerdekaan itu, peranan Kiai Wahab Chasbullah tidak bisa dikesampingkan.
Peran Kiai Wahab Chasbullah dalam Resolusi Jihad
Ketika pasukan Sekutu dan Belanda tiba di Surabaya pada Oktober 1945, Presiden Soekarno menemui Hadlratusysyekh KH Hasyim Asy’ari menanyakan hukum membela tanah air ini. Hadlratusysyekh kemudian memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai kharismatik lainnya untuk menyikapi permintaan Soekarno tersebut. Kemudian, Kiai Wahab dan sejumlah kiai mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura. Mereka berkumpul di Bubutan, Surabaya, pada 22-23 Oktober 1945. Rapat dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah sendiri setelah dibuka oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan amanah khusus tentang pentingnya jihad membela agama dan negara dan bangsa. Menurut Kiai Hasyim Latif dan Kiai Saifuddin Zuhri, rapat tersebut memang dipimpin oleh Kiai Wahab dan beliau sendiri yang mendraft teks naskah Resolusi Jihad, setelah meminta pertimbangan Kiai Hasyim Asy’ari dan para hadirin.
Rapat maraton itu kemudian melahirkan pernyataan Resolusi Jihad yang dibacakan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 23 Oktober 1945. Isinya berupa jawaban mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular pasukan Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando.
Resolusi Jihad inilah yang kemudian mendorong semangat rakyat Surabaya untuk berjuang pada 10 November 1945. Dan Kiai Wahab disebut hadir sehari sebelumnya dalam pertemuan para tokoh nasioanlsi dalam rangka persiapan mengahdapi ultimatum tentara Inggris.
Selama revolusi kemerdekaan Kiai Wahab Chasbullah juga bergabung dalam gerakan gerilya menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Ia menyumbangkan hartanya untuk perlengkapan militer, berhubungan dengan unit-unit grilya dan membantu mengkoordinasi rekrutmen-rekrutmen dan pelatihan terhadap santri di Jawa Timur. “With the onset of the Indonesian Revolution Wahab became involved in the guerilla movement against the returning Dutch forces. He raised money for military equipment, addressed guerilla units and helped coordinate the recruitment and training of santri in East Java”, demikian yang ditulis Fealy berdasarkan sumber dari KH Saifuddin Zuhri dan juga dari wawancara dengan KH Hasyim latif, salah seorang aktor Laskar Hizbullah di Jawa Timur, di Sepanjang, 11 September 1991. Kiai Hasyim Latif sendiri pernah menulis buku berjudul Laskar Hizbullah: Berjuang Menegakkan Negara RI (Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasyr PBNU, 1995). Buku ini juga mengungkap peranan Kiai Wahab Chasbullah selama Perang kemerdekaan.
Kiai Wahab Chasbullah juga berjasa membentuk laskar-laskar did aeraqhnya sendiri, di Jombang. Laskar Hizbullah Jombang didirikan atas desakan KH Hasyim Asy’ari kepada KH Wahab Chasbullah, akhir Agustus 1945, tak lama setelah kemerdekaan RI diproklamasikan.
Perintah K.H. Hasyim Asy’ari untuk memobilisasi pemuda di Kabupaten Jombang segera disampaikan KH Wahab Hasbullah kepada H Affandi, seorang dermawan yang pernah ditahan oleh Jepang bersama KH Hasyim Asy’ari. Kemudian H Affandi menghubungi A Wahib Wahab, putra KH Wahab Hasbullah yang menjadi Syodanco PETA. H Affandi meminta agar A Wahib Wahab bersedia memimpin Laskar Hizbullah yang akan didirikan. Ketika di Surabaya terjadi pertempuran 10 Nopember, Hizbullah Karesidenan Surabaya disatukan dalam satu divisi yang diberi nama Divisi Sunan Ampel, dipimpin oleh A Wahib Wahab. Penggabungan ini bertujuan untuk memperkokoh serta meningkatkan badan perjuangan umat Islam. (bersambung)
Pulang ke Jawa di tahun 1914, beliau aktif dalam berbagai kegiatan pergerakan nasional. Ada sejumlah organisasi yang beliau dirikan: Nahdlatul Wathan (organisasi kebangsaan bersama KH Mas Mansur), Syubbanul Wathan (gerakan pemuda kebangsaan), Nahdlatuttujjar (Gerakan Kebangkitan Para Pedagang), Tashwirul Afkar (forum pencerahan pemikiran), Islamic Studi Club bersama dokter Soetomo (pendiri Boedi Otomo), serta Komite Hijaz yang menjadi embrio berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan ada cabang Boedi Oetomo Surabaya yang mengikuti Tasjwiroel Afkar, dengan nama “Suryo Sumirat afdeeling [cabang] Tasjwiroel Afkar”. Suryo Sumirat adalah nama satu perhimpunan yang dibentuk oleh orang-orang Boedi Oetomo di Surabaya.
Itu digambarkan dengan apik oleh Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya tentang karakter kosmopolit-kebangsaan sang kiai paripurna ini:
Dari pondok pesantren [tempat bergumul Kiai Wahab Chasbullah] lahirlah ide-ide yang hidup, segar dan mendapat sambutan antusias dari masyarakat, dan bukanlah ide-ide yang cuma teoritis yang mati di tengah cetusannya. Ide kebangkitan kaum ulama, ide pentingnya pengorganisasian perjuangan, ide pendekatan golongan-golongan Islam-Nasional, ide perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, ide mencetuskan kemerdekaan dan mempertahankannya, ide mengisi kemerdekaan, ide mempertemukan antara cita-cita dan kenyataan, dan tentu saja ide pembangunan di segala bidang, membangun karakter bangsa, membangun taraf hidup dan membangun prestasi nasional untuk kepentingan seluruh warga negara Republik Indonesia.
Ini misalnya ditunjukkan pada pendirian Nahdlatul Wathan. Kiai Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pemuda ini untuk menggelorakan semangat nasionalisme di kalangan umat Islam. Ia bertemu dengan KH Mas Mansur, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah, dan sepakat dengan gagasan tersebut. Juga disambut baik oleh HOS Tjokroaminoto, Raden Pandji Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar, seorang saudagar terkemuka yang kemudian membantu pendanaannya.
Maka, berdirilah sebuah gedung bertingkat di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, yang kemudian dikenal dengan perguruan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Tujuannya, untuk mendidik kader-kader muda dan membangunkan semangat nasionalisme mereka. Pada 1916, perguruan ini mendapat Rechtsperson (resmi berbadan hukum), dengan susunan pengurus: KH Abdul Kahar sebagai Direkur, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai pimpinan Dewan Guru dan Keulamaan dan KH Mas Mansur sebagai Kepala Sekolah dibantu KH Ridwan Abdullah.
Sejak itu Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap hendak memulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan kebangsaan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh Kiai Wahab dalam bentuk syair seperti berikut:
Ya ahlal wathan, ya ahlal wathan….
Hubbul wathan minal-iman
Wahai bangsaku, wahai bangsaku…
Cinta tanah air adalah bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan
harus dibuktikan dengan perbuatan…
Setelah Mas Manshur aktif di Muhammadiyah kemudian kepala sekolah dijabat oleh Mas Alwi mengembangkan sayap Nahdlatul Wathan di berbagai daerah. Madrasah Akhul Wathan (Saudara Setanah Air) di Semarang, Far’ul Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Malang, Hidayatul Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang dan Jagalan, Ahlul Wathan (Warga Tanah Air) di Wonokromo dan Khitabul Wathan di Pacarkeling . Pendirian madrasah-madrasah kebangsaan ini tidak lain adalah sebagai bentuk upaya kaum santri untuk menumbuhkembangkan semangat nasionalisme-religius ala pesantren ke dalam jiwa putera-puteri bangsa kita.
Inilah amal dan perbuatan Kiai Wahab Chasbullah untuk bangsa ini di masa penjajahan Belanda.
Kemudian, di masa pendudukan Jepang, ide-ide yang sudah dipupuk di masa kolonial Belanda dilanjutkan pada level aksi nyata. Yakni melalui pembentukan laskar rakyat-pemuda. Mengapa beralih ke pembentukan laskar rakyat? Kiai Wahab sendiri pernah mengatakan: “Kalau kita mau keras, harus mempunyai keris!” Artinya, bahwa kita baru bisa bertindak jika kita telah mempunyai kekuatan. Kekuatan politik, kekuatan militer, dan juga kekuatan batin atau rohani, demikian yang ditulis KH Saifuddin Zuhri, menafsirkan ucapan gurunya itu.
Ide ini awalnya untuk kepentingan pertahanan rakyat dalam konteks menghadapi Perang Pasifik. Tapi niat pemerintah militer Jepang itu dimanfaatkan oleh Kiai Wahab untuk menggembleng kalangan santri dalam latihan fisik-kemiliteran untuk jaga-jaga. Kiai Wahab lalu memebri nama laskar-santri itu Laskar Hizbullah. Ini dengan memanfaatkan keterlibatan para kiai dalam rekrutmen tentara PETA di Cibarusa, Jawa Barat, tahun 1944. Sepulang dari latihan militer ini, para kiai ini kemudian mengkader pasukan-pasukan Laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing. Laskar ini kemudian menjadi komponen utama perlawanan rakyat dan kaum santri dalam perang kemerdekaan di tahun 1945-1949.
Nah, selama dalam perang kemerdekaan itu, peranan Kiai Wahab Chasbullah tidak bisa dikesampingkan.
Peran Kiai Wahab Chasbullah dalam Resolusi Jihad
Ketika pasukan Sekutu dan Belanda tiba di Surabaya pada Oktober 1945, Presiden Soekarno menemui Hadlratusysyekh KH Hasyim Asy’ari menanyakan hukum membela tanah air ini. Hadlratusysyekh kemudian memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai kharismatik lainnya untuk menyikapi permintaan Soekarno tersebut. Kemudian, Kiai Wahab dan sejumlah kiai mengumpulkan para ulama se-Jawa dan Madura. Mereka berkumpul di Bubutan, Surabaya, pada 22-23 Oktober 1945. Rapat dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah sendiri setelah dibuka oleh Kiai Hasyim Asy’ari dengan amanah khusus tentang pentingnya jihad membela agama dan negara dan bangsa. Menurut Kiai Hasyim Latif dan Kiai Saifuddin Zuhri, rapat tersebut memang dipimpin oleh Kiai Wahab dan beliau sendiri yang mendraft teks naskah Resolusi Jihad, setelah meminta pertimbangan Kiai Hasyim Asy’ari dan para hadirin.
Rapat maraton itu kemudian melahirkan pernyataan Resolusi Jihad yang dibacakan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 23 Oktober 1945. Isinya berupa jawaban mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular pasukan Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando.
Resolusi Jihad inilah yang kemudian mendorong semangat rakyat Surabaya untuk berjuang pada 10 November 1945. Dan Kiai Wahab disebut hadir sehari sebelumnya dalam pertemuan para tokoh nasioanlsi dalam rangka persiapan mengahdapi ultimatum tentara Inggris.
Selama revolusi kemerdekaan Kiai Wahab Chasbullah juga bergabung dalam gerakan gerilya menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Ia menyumbangkan hartanya untuk perlengkapan militer, berhubungan dengan unit-unit grilya dan membantu mengkoordinasi rekrutmen-rekrutmen dan pelatihan terhadap santri di Jawa Timur. “With the onset of the Indonesian Revolution Wahab became involved in the guerilla movement against the returning Dutch forces. He raised money for military equipment, addressed guerilla units and helped coordinate the recruitment and training of santri in East Java”, demikian yang ditulis Fealy berdasarkan sumber dari KH Saifuddin Zuhri dan juga dari wawancara dengan KH Hasyim latif, salah seorang aktor Laskar Hizbullah di Jawa Timur, di Sepanjang, 11 September 1991. Kiai Hasyim Latif sendiri pernah menulis buku berjudul Laskar Hizbullah: Berjuang Menegakkan Negara RI (Jakarta: Lajnah Ta’lif wan Nasyr PBNU, 1995). Buku ini juga mengungkap peranan Kiai Wahab Chasbullah selama Perang kemerdekaan.
Kiai Wahab Chasbullah juga berjasa membentuk laskar-laskar did aeraqhnya sendiri, di Jombang. Laskar Hizbullah Jombang didirikan atas desakan KH Hasyim Asy’ari kepada KH Wahab Chasbullah, akhir Agustus 1945, tak lama setelah kemerdekaan RI diproklamasikan.
Perintah K.H. Hasyim Asy’ari untuk memobilisasi pemuda di Kabupaten Jombang segera disampaikan KH Wahab Hasbullah kepada H Affandi, seorang dermawan yang pernah ditahan oleh Jepang bersama KH Hasyim Asy’ari. Kemudian H Affandi menghubungi A Wahib Wahab, putra KH Wahab Hasbullah yang menjadi Syodanco PETA. H Affandi meminta agar A Wahib Wahab bersedia memimpin Laskar Hizbullah yang akan didirikan. Ketika di Surabaya terjadi pertempuran 10 Nopember, Hizbullah Karesidenan Surabaya disatukan dalam satu divisi yang diberi nama Divisi Sunan Ampel, dipimpin oleh A Wahib Wahab. Penggabungan ini bertujuan untuk memperkokoh serta meningkatkan badan perjuangan umat Islam. (bersambung)
Posting Komentar