Oleh: Tatang Muttaqin
Salah satu ormas terbesar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama (NU), baru saja merayakan ulang tahun ke-90. Usia matang untuk institusionalisasi sebuah organisasi yang lahir dan berbasis kultural Islam ala Indonesia yang kini populer dengan istilah Islam Nusantara.
Jauh sebelum didirikan pada 31 Januari 2016, tradisi NU sudah berkembang, terinternalisasi, dan tersosialisasi di sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Jawa, melalui pendidikan khas Indonesia, pesantren.
Dengan demikian, sejarah NU tak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang pendidikan umat Islam yang sebagian besar tak tersentuh oleh pendidikan resmi kolonial saat itu. Berbeda dengan Muhammadiyah yang langsung mereplikasi pendidikan modern ala Belanda saat itu, NU tetap mempertahankan tradisi kepesantrenan dengan jejaring kiai saat itu.
Namun, sesuai dengan semangat tradisi ulama, yaitu senantiasa merawat tradisi yang baik dan melakukan pencarian inovasi yang lebih baik (al-muhaafazhah 'ala l-qadiimi sh-shaalih wa l-akhdz bi l-jadiidi l-ashlah), penyelenggaraan pendidikan NU juga mengalami proses adopsi dan adaptasi dengan terus menyinergikan misi organisasi, sistem pendidikan nasional yang ada, dan realitas lokal masyarakat yang dilayani.
Semangat inovasi ini tercetus sejak Muktamar kedua NU di Surabaya pada 1927. Saat itu, warga NU bersepakat menggalang dana untuk mendirikan madrasah dan juga sekolah (Zamzami, 2012).
Ditilik dari sisi pengelolaan, berbeda dengan satuan pendidikan Muhammadiyah yang langsung memiliki dan mengelola penyelenggaraan secara berjenjang, seperti birokrasi pemerintah, satuan pendidikan NU sebagian besar dimiliki dan dikelola individu (USAID, 2007). Untuk mengoordinasikan lembaga pendidikan itu, NU memiliki sayap lembaga, yaitu Rabithah Ma'ahid Islamiyah untuk jejaring pesantren dan Lembaga Pendidikan Ma'arif yang mengoordinasikan ribuan satuan pendidikan NU yang tersebar hampir di semua provinsi di Tanah Air.
Menurut Zamzami (2012), Muktamar ke-30 pada 1999 di Lirboyo, Kediri, merupakan momentum penting pengembangan pendidikan NU. Dalam muktamar ini, NU menegaskan pentingnya memperkuat tata kelola pendidikan NU yang merupakan instrumen terpenting penyebar dan penyubur misi NU, yaitu membentuk Muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, cerdas dan terampil, serta melaksanakan paham Ahlussunah waljamaah, serta turut bertanggung jawab akan kelangsungan hidup bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Mamat S Burhanudin, 2015).
Pemantapan tata kelola itu, dua tahun kemudian dioperasionalisasikan dalam Rakernas LP Ma'arif NU yang membagi satuan pendidikan ke dalam tiga kategori sekolah/madrasah; (1) yang didirikan oleh LP Ma'arif, (2) yang didirikan oleh jamaah atau lembaga lain di lingkungan NU bekerja sama dengan LP Ma'arif, dan (3) yang didirikan dan dikelola secara mandiri oleh jamaah atau lembaga lain di lingkungan NU.
Menurut laman resminya, setidaknya sampai saat ini, ada sekitar 6.000 lembaga pendidikan yang dikoordinasikan oleh Ma'arif yang tersebar di seantero nusantara. Tentu, tak mudah menilik sebaran dan kualitas semua jenis dan jenjang pendidikan sehingga difokuskan untuk jenjang pendidikan SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs) karena untuk jenjang SD/MI sebagian besar telah disediakan pemerintah dan untuk jenjang SMA/MA/SMK tak mudah melakukan komparasi karena beragamnya jurusan dan jenis (track) pendidikan.
Untuk jenjang SMP/MTs, ada sekitar 1.400 lembaga pendidikan yang teridentifikasi sebagai bagian dari satuan pendidikan di bawah naungan LP Ma'arif yang sebagian besarnya berbentuk MTs sekira 67 persen persen dan sisanya SMP. SMP/MTs Ma'arif NU itu telah menjangkau lebih dari 80 persen provinsi di Indonesia.
Berdasarkan peta itu, sebagian besar satuan pendidikan Ma'arif berada dalam manajemen Kementerian Agama yang mengelola madrasah. Sekalipun sebagian besar
Posting Komentar